Perkembangan layanan bimbingan di Amerika
Pada
abad ke 20 bimbingan konselor belum ada di sekolah-sekolah, pada saat
itu pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru di sekolah, yang
mana dalam pekerjaan tersebut itu seorang guru memberikan layanan
informasi, layanan bimbingan pribadi, social, karir dan akademik.
Gerakan bimbingan konseling di sekolah ini berkembang sebagai dampak
dari revolusi industry, dan keragaman latar belakang para siswa yang
masuk ke sekolah-sekolah negeri. Pada tahun 1898 Jasse B. Davis seorang
konselor sekolah di Detroit memulai memberikan layanan konseling
pendidikan dan pendidikan di SMA. Pada tahun 1907, dia diangkat menjadi
kepala SMA di Grand Rapids, Michigan. Sehingga ia memasukkan program
bimbingan di sekolah tersebut.
Adapun tujuan diadakannya program bimbingan di sekolah ini adalah agar siswa mampu:
a. Mengembangkan
karakternya yang baik(memiliki nilai moral, ambisi, bekerja keras, dan
kejujuran) sebagai asset yang sangat penting bagi setiap siswa(orang)
dalam rangka merencanakan, mempersiapkan, dan memasuki dunia kerja
(bisnis).
b. Mencegah dirinya dari prilaku bermasalah.
c. Menghubungkan minat pekerjaan dengan kurikulum (mata pelajaran)
Dalam waktu yang bersamaan, para ahli yang lainnya juga mengembangkan program yang sama dalam hal bimbingan, seperti:[1]
1. Eli Weaper,
pada tahun 1906 menerbitakan booklet tentang “memilih suatu karir”. Dan
dia berhasil membentuk komite guru pembimbing di setiap sekolah
menengah di New York. Komite ini aktif bekerja untuk membantu para
pemuda(remaja) dalam menemukan kemampuan-kemampuannya dan belajar
tentang bagaimana menggunakan atau mengembangkan kemampuan-kemampuan
tersebut dalam rangka menjadi seorang pekerja atau pegawai yang
produktif.
2. E.G Williamson, pada akhir tahun 1930 dan awal tahun 1940, ia menulis buku How to Counsel Students: A Manual of Techniques for Clinical Counselors. Model bimbingan sekolah yang dikembangkan oleh Williamson ini terkenal dengan nama trait and factor (directive) guidance.
Dalam model ini konselor menggunakan informasi untuk membantu siswa
dalam memecahkan masalahnya. Khususnya dalam bidang pekerjaan dan
penyesuaian interpersonal. Adapun peranan konselor dalam program ini
bersifat direktif dengan menekankan pada:
· Mengajar ketrampilan.
· Membentuk (mengubah) sikap dan tingkah laku.
3. Carl R. Roger, ia mengembangkan teori konseling clien- centered,
yang tidak terfokus pada masalah, akan tetapi sangat mementingkan
hubungan antara konselor dengan kliennya. Pendekatan konseling ini
merupakan respon terhadap pendekatan konseling yang direktif bersifat
sempit dan terfokus kepada masalah.pendekatan atau teori konseling Roger
ini terangkum dalam dua bukunya, yaitu: Counseling and psycoterapy (1942) dan Client- Centered Therapy (1951).
Pada buku pertama, Roger memperkenalkan pendekatan konseling
nondirektif sebagai alternative layanan selain pendekatan direktif.
Roger berpendapat bahwa klien mempunyai tanggung jawab dalam memecahkan
masalah dan mengembangkan dirinya sendiri. Adapun dalam buku yang kedua,
terjadi perubahan semantic dari konseling nondirektif menjadi konseling
client- centered. Sejak tahun 1960-1970, teori ini menjadi model
utama bagi banyak konselor, baik di sekolah maupun di biro-biro
kesehatan mental. Akan tetapi, teori ini juga dipandang agak kaku untuk
diterapkan di sekolah. Karena ketidak puasan ini maka muncullah evolusi
lebih lanjut dalam gerakan bimbingan dan konseling di sekolah.
Pada
tahun 1950, terjadi peristiwa peluncuran sputnik I Uni Soviet. Yang
mana peristiwa ini sangat membuat warga Amerika Serikat cemas, karena
mereka beranggapan bahwa peristiwa ini merupakan isyarat tentang
dominasi Uni Soviet dalam bidang teknologi industry dan bidang ilmiah
lainnya. Dalam merespon protes warga tersebut, maka pada bulan September
tahun 1958 kongres menyusun undang-undang, termasuk undang-undang
pertahanan pendidikan nasional (National Defense Education Act.).
undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk
memberikan dana bagi pendidikan, seperti untuk pelatihan para konselor
SLTP dan SLTA, dalam mengembangkan program testing, program konseling
sekolah, dan progam bimbingan lainnya.
Pada tahun 1958 bulan September ini merupakan peristiwa penting (land mark)
dalam dunia pendidikan di Amerika, termasuk gerakan bimbingan dan
konseling. Departemen pertahanan pendidikan memberikan keuntungan khusus
bagi pembimbingan generasi muda dengan lima dari 10 seksi yanga ada.
Kelima seksi ini merupakan kunci bagi kemajuan pengembangan program
bimbingan dan konseling.
Gibson
dan hinggins mengemukakan bahwa enem tahun setelah peristiwa tersebut
yaitu pada tahun 1964, bantuan yang diberikan dapat dideteksi dari
pemberitahian yang dikemukakan oleh Departemen kesehatan, Pendidikan,
dan Kesejahteraan Amerika yaitu sebagai berikut:
1. Kucuran
dana $30 juta untuk membantu para konselor SLTA yang bekerja full time,
yang jumlahnya 12.000 orang pada tahun 1958, dan 30.000 orang konselor
pada tahun 1964.
2. Pada
akhir tahun akademik 1964-1965 telah dikucurkan dana untuk membantu 480
lembaga sekolah dalam upaya meningkatkan kemampuan konseling. Program
ini diikuti lebih dari 15.700 orang konselor SLTP, dan para guru yang
dipersiapkan untuk menjadi konselor.
3. Mulai
tahun 1959 s.d. tahun 1964 telah dilakukan tes prestasi dan bakat
persekolahan kepada 100 juta siswa SLTP Negeri, dan tiga juta siswa SLTP
swasta.
4. 600.000
siswa telah dibantu untuk memperoleh atau melanjutkan studi ke
perguruan tinggi melalui loan (pinjaman) dari negara bagian federal.
5. 42.000 teknisi telah dilatih untuk memenuhi kebutuhan “manpower” yang mengalami krisis.
6. Memberi kucuran dana bea siswa bagi 8.500 calon guru dibeberapa perguruan tinggi keguruan.
Selama
tahun 1960, 1970, 1980-an, telah terjadi perkembangan dalam peran dan
fungsi konselor sekolah berikut program-programnya. Perkembangan
tersebut meliputi:
a. Pengembangan, penerapan, dan evaluasi program bimbingan komprehensif.
b. Pemberian layanan konseling secara langsung kepada para siaswa,orang tua dan guru.
c. Perencanaan pendidikan dan pekerjaan.
d. Penempatan siswa.
e. Konsultasi denga guru-guru, tenaga administrasi, dan orang tua.
Khusus
menyangkut peran konselor di Sekolah Dasar,”Joint Committee on
Elementary School Counselor” mengklarifikasikannya menjadi tiga peran
atau fungsi yaitu: konseling, konsultasi, dan koordinasi.
Perkembangan
program bimbingan dan konseling di sekolah dipengaruhi juga oleh
munculnya berbagai organisasi professional dalam bidang konseling,
seperti: (a) American Counseling Association(ACA), (b) American School
Counselor Association(ASCA), (c) Association of Counselor Education and
Supervision(ACES). Organisasi-organisasi ini berupaya meningkatkan
profesionalitas para konselor, dengan meluncurkan program akreditasi dan
sertifikasi.
Bradley
pada tahun 1980, menambah satu tahapan dari tiga tahapan tentang
sejarah bimbingan menurut Stiller, yaitu sebagai berikut:
1) Vocational
exploration, yaitu tahapan yang menekankan tentang analsis individual
dan pasaran kerja. Tahapan yang mencoba menjodohkan manusia dengan
pekerjaan.
2) Meeting
Individual Needs, yaitu tahapan pada periode 40 s.d. 50-an yang
menekankan pada upaya yang membantu individu agar memperoleh kepuasan
kebutuhan hidupnya. Perkembangan bimbingan konseling, pada tahapan ini
dipengaruhi oleh pendapat Maslow dan Ronger, yaitu bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya
sendiri.
3) Transisional Professionalism, yaitu tahapan yang memfokuskan perhatiannya kepada upaya profesionalisasi konselor.
4) Situational
Diagnosis, yaitu tahapan yang terjadi pada tahun 1970-an, sebagai
periode perubahan dan inovasi. Pada tahapan ini, ada penekanan yang
lebih kepada analisis lingkungan dalam proses bimbingan, dan gerakan
untuk menjauhi cara-cara terapeutik yang hanya terpusat pada diri
individu.
Pada tahun 1980-an juga, Kowits mencatat lima gerakan bimbingan dalam pendidikan.
Perama, gerakan penyesuaian hidup dengan memperhatikan persiapan vokasional, keragaman individual, dan kurikulum.
Kedua,
gerakan perkembangan anak pada tahun 1920-an yang dipengaruhi oleh
perkembangan teori psikoanalitik, yang menyatakan pentingnya pengalaman
masa anak sebagai dasar perkembangan selanjutnya.
Ketiga,
gerakan yang melibatkan konsep guru konselor. Selama periode ini, guru
dipandang sebagai orang yang dapat memfasilitasi pencapaian tujuan
bimbingan.
Keempat, gerakan proyek atau program khusus yang menekankan tentang filsafat aktivisme sosial.
Kelima, gerakan yang menaruh perhatian terhadap redefinisi tujuan bimbingan dan prinsip-prinsip ilmiah bimbingan.
Lebih lanjut John J. pietrofesa mendeskripsikan tonggak-tonggak sejarah bimbingan modern, yaitu sebagai berikut:
Tonggak-tonggak Sejarah Bimbingan Modern
TAHUN
|
PERISTIWA
|
1879
|
Laboratorium psikologi pertama dibangun oleh Wilhlm Wundt di Jerman
|
1883
|
G. Stanley Hall berinisiatif melakukan studi tentang anak di laboratorium psikologi di Universitas John Hopkins
|
1890
|
Sigmund Freud menggunakan psikoanalisis untuk mengobati penyakit mental
|
1895
|
George Meril mengembangkan bimbingan vokasioanl pertama di San Fransisco
|
1898
|
Jesse B. Davis mulai bekerja sebagai seorang konselor pada Sekolah Menengah Atas di Detroit
|
1905
|
Lbert Binet dan Theophile Simon menyusun dan menstandardisasikan tes kecerdasan umum pertama di Paris
|
1906
|
Eli W. Weaver, seorang kepala sekolah di Brooklyn menulis buku “Coosing a Career”
|
1908
|
Frank Parosns mendirikan Biro Vokasional di Boston, dan menulis buku “Coosing a Vocation”
|
1909
|
Clifford Beers menulis “A Mind that Found it Self”, sebagai faktor utama yang mempengaruhi lahirnya gerakan mental hygiene
|
1910
|
Konferensi bimbingan vokasional nasional pertama diselenggarakan di Boston
|
1913
|
Asosiasi Bimbingan Vokasional Nasional didirikan di Grand Rapids Michigan
|
1917
|
The Smith-hughes Act memberikan dana federal pertama untuk membiayai program bimbingan vokasioanl
|
1917
|
Tes
kemampuan mental kelompok verbal dan non-verbal dikembangkan oleh
Angkatan Bersenjata yang digunakan dalam melakukan screening calon
tentara
|
1927
|
The Strong Vocatioanal Interest Blank dipublikasikan
|
1929
|
The George-Reed Act memberikan dukungan federal untuk pendidikan vokasional
|
1932
|
John Brewer mempublikasikan buku “Education as Guidance”
|
1934
|
The George-Ellzy Act melanjutkan pemberian dukungan dana federal untuk pendidikan vokasional
|
1935
|
The Works Progress Administration didirikan untuk memberikan layanan konseling dan penempatan bagi para generasi muda
|
1936
|
The George-Deen Act melanjutkan pemberian dana untuk pendidikan vokasional
|
1937
|
The American Association For Applied Psychology didirikan
|
1938
|
The U. S. Office of Education memberikan layanan informasi pekerjaan
|
1939
|
E. G. Williamson mendeskripsikan pendekatan “Trait and Factor”konseling dalam bukunya “How To Counsel Students”
|
1942
|
Carl
Rongers mempublikasikan “Counseling and Psychotherapy” dan mulai
melakukan gerakan konseling kea rah “client-centered therapy”
|
1945
|
The U.S. Employment Office mengambangkan “General Aptitude Test Battery”
|
1951
|
The American Personnel and Guidance Association (APGA) didirikan
|
1952
|
The American School Counselor Association didirikan, dan menjadi salah satu Divisi APGA pada tahun 1953
|
1953
|
B. F. Skinner menulis “Scienceand Human Behavior”
|
1954
|
The Office of Vocational Rehabilitation didirikan
|
1957
|
APGA menyusun The American Board of Professional Standars “ dalam bimbingan vokasional
|
1957
|
Donald
Super mempublikasikan “The Psychology of Career” yang mempunyai
pengaruh besar terhadap gerakan perkembangan karir pada tahun-tahun
berikutnya
|
1958
|
The National Defense Education Act memberikan dana untuk kegiatan pelatihan para konselor sekolan
|
1961
|
The Association for Supervision and Curriculum Development mempublikasikan “Peeceiving, Behaving, Becoming
|
1962
|
C.Gilbert Wrenn menulis “The Counselor is a Changing World”
|
1963
|
The Manpower Development and Training and The Vocational Education Act telah dilakukan
|
1964
|
Amended NDEA melanjutkan pembeian dana bagi pelatihan konselor
|
1971
|
Commissioner of Education Sidney Marland menekankan tentang pentingnya perencanaan dan kehidupan karir
|
1976
|
Unit administrasi untuk bimbingan dan konseling telah didirikan di U.S. Office of Education
|
1978
|
The State Virginia memberikan izin praktekkepada konelor
|
2.2 Perkembangan Bimbingan Konseling di Indonesia
Dalam
layanan perkembangan bimbingan di Indonesia mempunyai perbedaan dengan
perkembangan bimbingan di Amerika, hal ini disebabkan karena, dalam
perkembangan di Amerika dimulai dari usaha perorangan dan pihak swasta,
kemudian berangsur-angsur menjadi usaha pemerintah. Sedangkan di
Indonesia, perkembangannya dimulai dari kegiatan-kegiatan di sekolah dan
usaha-usaha pemerintah.
Layanan
bimbingan dan konseling di Indonesia sudah lama dibicarakan secara
terbuka sejak tahun 1962. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan
system pendidikan di SMA, yaitu perubahan nama menjadi SMA Gaya Baru dan
berubahnya waktu penjurusan, yang awalnya di kelas I menjadi dikelas
II. Program penjurusan ini merupakan respon akan kebutuhan untuk
menyalurkan para siswa ke jurusan yang tepat bagi mereka secara
perorangan.
Dalam rencana pelajaran SMA Gaya Baru, ditegaskan antaranya:
a. Di
kelas I setiap pelajar diberi kesempatan untuk lebih mengenal bakat dan
minatnya, dengan cara menjelajahi semua jenis mata pelajaran yang ada
di SMA, dan dengan bimbingan penyuluhan yang teliti dari guru maupun
orang tua.
b. Dengan
mempergunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan catatan dalam
kartu pribadi setiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas II kelompok
khusus: budaya, social, dan pengetahuan.
c. Untuk kepentingan tersebut, maka pengisian kartu pribadi murid harus dilaksanakan seteliti-telinya.[2]
Perumusan dan pencantuman resmi di dalam rencana pembelajaran di SMA
ini disusul dengan berbagai kegiatan pengembangan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah, seperti rapat kerja, penataran. Pucak dari usaha
ini adalah didirikannya jurusan bimbingan dan penyuluhan di fakultas
ilmu pendidikan IKIP (Institut Keguruan dan ilmu pendidikan) Negeri.
Salah satu yang membuka jurusan Bimbingan dan Penyuluhan adalah IKIP
Bandung pada tahun 1963, yang sekarang berganti nama yaitu Universitas
Pendidikan Indonesia.
Peran
bimbingan kembali mendapat perhaian setelah diperkenalkannya gagasan
sekolah pembangunan pada tahun 1970/ 1971. Gagasan pembangunan ini
kemudian dituangkan dalam program sekolah menengah pembangunan persiapan
(SMPP), yang berupa proyek percobaan dan peralihan dari system
persokalah lama menjadi sekolah pembangunan.pembentukan SMPP ini
dimaktubkan dalam surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan
nomor 0199/0/1973. Dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan di SMPP
ini badan pengembangan pendidikan departemen pendidikan dan kebudayaan
telah menyusun program Bimbingan dan penyuluhan SMPP.
Badan
pengembangan pendidikan, melalui lokakarya-lokakarya telah berhasil
menyusun dua naskah penting dalam sejarah perkembangan layanan bimbingan
dan konseling, yaitu sebagai berikut:
1. Pola dasar rencana dan pengembangan program bimbingan dan penyuluhan melalui proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
2. Pedoman operasional pelayanan bimbingan pada proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
Secara
formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak berlakunya
kurikulum 1975, yang menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan
merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah. Pada tahun 1975
berdiri Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini
member pengaruh yang sangat berarti terhadap perluasan program bimbingan
di sekolah.
Setelah
melalui upaya penataan, dalam decade 80-an bimbingan diupayakan agar
lebih maju untuk mewujudkan layanan bimbingan yang professional, yang
mana dalam dekade ini lebih mengarah pada profesionalisasi yang lebih
baik. Yaitu dengan cara penyempurnaan kurikulum. Dari kurikulum 1975 ke
kurikulum 1984 yang telah ditambah bimbingan karir di dalamnya.
Usaha
memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakunya UU No.
2/1989 tentang system pendidikan nasional. Dalam pasal 1 ayat 1
disebutkan bahwa:” pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan
bagi peranannya di masa yang akan datang.”
Posisi
bimbingan yang termaktub dalam undang-undang no 2 di atas diperkuat
dengan peraturan pemerintah (PP) No 28 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No.29
Bab X pasal 27/1990 yang menyatakan bahwa” Bimbingan merupakan bantuan
yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi,
mengenal lingkunagn dan merencanakan masa depan.”
Penataan
bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 84/1993
tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya. Dalam pasal 3
disebutkan tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan,
melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis
hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan
terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. Pada tahun yang
sama juga keluar surat keputusan bersama Mendikbud dengan kepala BAKN
No. 0433/P/1993 dan No. 26 tahun 1993 tentang petunjuk pelaksanaan
jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, yang tercantum pada Bab III
Pasal 4 ayat 1,2, dan 3 yaitu sebagai berikut:
a) Standar prestasi kerja guru pratama sampai guru dewasa tingkat I dalam melaksanakan PBM atau Bimbingan meliputi hal berikut:
1) Persiapan program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling (BK).
2) Penyajian program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling.
3) Evaluasi program pengajaran atau praktik atau bim bimbingan dan konseling.
b) Standar prestasi kerja guru Pembina sampai guru utama selain tersebut pada ayat 1 ditambah dengan hal berikut:
· Analisis hasil evaluasi pengajaran atau praktik atau BK.
· Penyusunan program perbaikan dan pengayaan atau tindak lanjut pelaksanaan BK.
· Pengembangan profesi dengan angka kredit sekurang-kurangnya 12 (dua belas).
c) Khusus
standar prestasi kerja guru kelas, selain tersebut pada ayat 1 atau
ayat 2, sesuai dengan jenjang jabatannya ditambah melaksanakan program
BK di kelas yang menjadi tanggung jawab.
Pada
tahun 2001 nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI)
berubah menjadi Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN), sehingga
menjadikan perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia menjadi
semakin bagus (mantap). Pemunculan nama ini dilandasi oleh pemkiran
bahwa bimbingan dan konselingan harus tampil sebagai profesi yang
mendapat pengakuan dan kepercayaan public.
Berdasarkan
penelaah yang cukup kritis terhadap perjalanan historis gerakan
bimbingan dan konseling di Indonesia, prayitno mengemukakan bahwa
periodesasi perkembangan gerakan bimbingan dan penyuluhan di Indonesia
melalui lima periode, yaitu: periode prawacana, pengenalan,
pemasyarakatan, konsolidasi, dan tinggal landas.
Periodesasi pergerakan bimbingan dan konseling di Indonesia
periodesasi
|
Peristiwa
|
Periode I dan II:
Prawacana dan pengenalan (sebelum 1960-1970-an)
|
Pada
periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling sudah
dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya diluar
negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya jurusan Bimbingan dan
penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP bandung(sekarang namanya UPI).
Pembukaan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara tidak
langsung memperkenalakan pelayanan BP pada masyarakat akademik, dan
pendidik. Sukses periode kedua in ditandai dengan dua keberhasilan, yang
diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan
kebutuhan akan pelayanan tersebut.
|
Periode III: pemasyarakatan (1970-1990 an)
|
Pada
periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk sekolah dasar sampai
sekolah menengah tingkat atas. Kurikulum ini secara resmi
mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini
terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan
pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini, pelayanan BP
difokuskan pada bidang-bidang karir. Dan pada periode ini muncul
beberapa permasalahan, seperti: (1) berkembangnya pemahaman yang
keliru, yaitu mengidentikan Bimbingan karir dengan Bimbingan
Penyuluhan. (2) kerancuan dalam mengimlementasikan SK Menpan No
26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah.
Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas
melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur, baik
pemahaman maupun implementasinya.
|
Periode IV: konsolidasi(1990-2000)
|
Pada
periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa
pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi
pada periode ke empat di atas). Pada periode ini ditandai oleh (1)
diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling.(2) pelayanan
BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara
khusus ditugasi untuk itu. (3) mulai diselenggarakan
penataran(nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing.(4) mulai
adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing.(5) pola
pelayanan BK di sekolah dikemas dalam BK pola 17, dan (6) dalam bidang
kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK. (7)
dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih
operasional oleh IPBI.
|
Periode V: lepas landas
|
Semula
diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang
memadai, sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah
dapat tinggal landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada
permasalahan yang belum terkonsilidasi, yang berkenaan dengan sumber
daya manusia(SDM). Kelemahannya berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommitted para
pelaksana layanan. Walaupun begitu pada tahun-tahun setelah masa
konsolidasi terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak
bagi pengembangan profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu:
(1) penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN
(Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia),(2) lahirnya undang-undang
No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, yang dimuat di
dalamnya ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis tenaga
pendidik (bab1 ayat 4). (3) kerjasama pengurus besar ABKIN dengan
dikti Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling.(4) kerjasama
ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru
pembimbing(konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan kepada
mereka.
|
Dalam
usaha untuk lebih memantapkan atau memajukan dan Konseling sebagai
suatu profesi, saat ini telah banyak kegiatan yang dilakukan baik yang
berupa seminar, lokakarya ataupun penerbitan buku dan jurnal. Pada bulan
Desember 2003 ABKIN telah menyelenggarakan konvensi nasional XIII yang
diisi dengan kegiatan-kegiatan seminar dan lokakarya (semiloka) yang
bertemakan “profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia Menuju kea rah
Standar Internasional”. Para pembicara pada seminar ini di samping
berasal dari para pengurus ABKIN dan para pakar Bimbingan dari Negeri
juga berasal dari luar negeri. Yaitu dari Jepang (Prof. Toshinori
Ishikuma) dan Malaysia(Prof. Dr. Wan Kader Wan Ahmad). Selain itu, di
setiap kota atau kabupaten yang ada guru pembimbingnya telah dibentuk
organisasi MGBK yaitu Musyawaroh Guru Bimbingan dan konseling, baik di
tingkat SLTP ataupun SLTA.
Dalam penyelenggaraan program Bimbingan dan Konseling pada saat ini masih ada beberapa persoalan, antara lain adalah:
1) Masih
terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah
sekolah dan jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan, bahkan di
sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum ada pengangkatan
khusus seorang konselor.
2) Dampak dari kesenjangan antara jumlah konselor dengan jumlah sekolah, atau jumlah peserta didik adalah:
· Di sekolah tertentu tidak ada guru pembimbing.
· Di sekolah-sekolah tertentu ada guru pembimbingnya meskipun tidak seimbang dengan banyaknya siswa.
· Untuk
menutupi kekurangan guru pembimbing, tidak jarang kepala sekolah
mengangkat guru-guru mata pelajaran(yang jam mengajarnya kurang) menjadi
guru pembimbing.
3) Pengangkatan
guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing, disatu sisi memberikan
impresi positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada
kepedulian kepada sekolah terhadap program BK. Akan tetapi di sisi lain
juga berdampak negative bagi profesi pembimbing, yaitu melahirkan citra
buruk bagi profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Karena ditangani
oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian dalam bidang BK.
4) Walaupun
bimbingan konseling dipandang sebagai kegiatan yang professional, akan
tetapi secara hokum belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh,
yang memberikan jaminan bahwa hanya lulusan pendidikan konselor lah
yang bisa mengemban tugas atau memberikan layanan bimbingan dan
konseling.
5) Popularitas
Bimbingan dan Konseling masih terbatas di dalam kalangan tertentu, di
lingkungan (sekolah) yang sudah akrab dan apresiasi terhadap BK, akan
tetapi ada juga di kalangan sekolah yang belum memahami secara tepat dan
bahkan menaruh citra negative terhadap BK.
6) Masih
ada juga kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program BK di
sekolah, sehingga mereka memberikan tugas kepada guru pembimbing
(konselor) yang mismatch, tidak profesiona, tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya.
7) Citra BK semakin terpuruk dengan adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak professional, dan mereka masih lemah dalam hal:
· Memahami konsep-konsep bimbingan secara komperehensif.
· Menyusun program bimbingan dan konseling
· Mengimplementasikan teknik-teknik BK.
· Kemampuan berkolaborasi dengan kepala sekolah atau guru mata pelajaran.
· Mengelola BK.
· Mengevaluasi BK dan melakukan tindak lanjut untuk perbaikan atau pengembangan program.
· Penampilan
kwalitas pribadinya, yaitu mereka masih dinilai kurang percaya diri,
kurang ramah, kurang kreati, kurang kooperatif dan kolaboratif
8) LPTK
yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing masih belum
memiliki kurikulum yang bagus untuk melahirkan konselor-konselor
professional.