Rabu, 26 Agustus 2015

14. PERKEMBANGAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI AMERIKA DAN INDONESIA

Perkembangan layanan bimbingan di Amerika
Pada abad ke 20 bimbingan konselor belum ada di sekolah-sekolah, pada saat itu pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru di sekolah, yang mana dalam pekerjaan tersebut itu seorang guru memberikan layanan informasi, layanan bimbingan pribadi, social, karir dan akademik. Gerakan bimbingan konseling di sekolah ini berkembang sebagai dampak dari revolusi industry, dan keragaman latar belakang para siswa yang masuk ke sekolah-sekolah negeri. Pada tahun 1898 Jasse B. Davis seorang konselor sekolah di Detroit memulai memberikan layanan konseling pendidikan dan pendidikan di SMA. Pada tahun 1907, dia diangkat menjadi kepala SMA di Grand Rapids, Michigan. Sehingga ia memasukkan program bimbingan di sekolah tersebut.
Adapun tujuan diadakannya program bimbingan di sekolah ini adalah agar siswa mampu:
a.       Mengembangkan karakternya yang baik(memiliki nilai moral, ambisi, bekerja keras, dan kejujuran) sebagai asset yang sangat penting bagi setiap siswa(orang) dalam rangka merencanakan, mempersiapkan, dan memasuki dunia kerja (bisnis).
b.      Mencegah dirinya dari prilaku bermasalah.
c.       Menghubungkan minat pekerjaan dengan kurikulum (mata pelajaran)
Dalam waktu yang bersamaan, para ahli yang lainnya juga mengembangkan program yang sama dalam hal bimbingan, seperti:[1]
1.      Eli Weaper, pada tahun 1906 menerbitakan booklet tentang “memilih suatu karir”. Dan dia berhasil membentuk komite guru pembimbing di setiap sekolah menengah di New York. Komite ini aktif bekerja untuk membantu para pemuda(remaja) dalam menemukan kemampuan-kemampuannya dan belajar tentang bagaimana menggunakan atau mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka menjadi seorang pekerja atau pegawai yang produktif.
2.      E.G Williamson, pada akhir tahun 1930 dan awal tahun 1940, ia menulis buku How to Counsel Students: A Manual of Techniques for Clinical Counselors. Model bimbingan sekolah yang dikembangkan oleh Williamson ini terkenal dengan nama trait and factor (directive) guidance. Dalam model ini konselor menggunakan informasi untuk membantu siswa dalam memecahkan masalahnya. Khususnya dalam bidang pekerjaan dan penyesuaian interpersonal. Adapun peranan konselor dalam program ini bersifat direktif dengan menekankan pada:
·         Mengajar ketrampilan.
·         Membentuk (mengubah) sikap dan tingkah laku.
3.      Carl R. Roger, ia mengembangkan teori konseling clien- centered, yang tidak terfokus pada masalah, akan tetapi sangat mementingkan hubungan antara konselor dengan kliennya. Pendekatan konseling ini merupakan respon terhadap pendekatan konseling yang direktif bersifat sempit dan terfokus kepada masalah.pendekatan atau teori konseling Roger ini terangkum dalam dua bukunya, yaitu: Counseling and psycoterapy (1942) dan Client- Centered Therapy (1951). Pada buku pertama, Roger memperkenalkan pendekatan konseling nondirektif sebagai alternative layanan selain pendekatan direktif. Roger berpendapat bahwa klien mempunyai tanggung jawab dalam memecahkan masalah dan mengembangkan dirinya sendiri. Adapun dalam buku yang kedua, terjadi perubahan semantic dari konseling nondirektif menjadi konseling client- centered. Sejak tahun 1960-1970, teori ini menjadi model utama bagi banyak konselor, baik di sekolah maupun di biro-biro kesehatan mental. Akan tetapi, teori ini juga dipandang agak kaku untuk diterapkan di sekolah. Karena ketidak puasan ini maka muncullah evolusi lebih lanjut dalam gerakan bimbingan dan konseling di sekolah.
Pada tahun 1950, terjadi peristiwa peluncuran sputnik I Uni Soviet. Yang mana peristiwa ini sangat membuat warga Amerika Serikat cemas, karena mereka beranggapan bahwa peristiwa ini merupakan isyarat tentang dominasi Uni Soviet dalam bidang teknologi industry dan bidang ilmiah lainnya. Dalam merespon protes warga tersebut, maka pada bulan September tahun 1958 kongres menyusun undang-undang, termasuk undang-undang pertahanan pendidikan nasional (National Defense Education Act.). undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan dana bagi pendidikan, seperti untuk pelatihan para konselor SLTP dan SLTA, dalam mengembangkan program testing, program konseling sekolah, dan progam bimbingan lainnya.
Pada tahun 1958 bulan September ini merupakan peristiwa penting (land mark) dalam dunia pendidikan di Amerika, termasuk gerakan bimbingan dan konseling. Departemen pertahanan pendidikan memberikan keuntungan khusus bagi pembimbingan generasi muda dengan lima dari 10 seksi yanga ada. Kelima seksi ini merupakan kunci bagi kemajuan pengembangan program bimbingan dan konseling.
Gibson dan hinggins mengemukakan bahwa enem tahun setelah peristiwa tersebut yaitu pada tahun 1964, bantuan yang diberikan dapat dideteksi dari pemberitahian yang dikemukakan oleh Departemen kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan Amerika yaitu sebagai berikut:
1.      Kucuran dana $30 juta untuk membantu para konselor SLTA yang bekerja full time, yang jumlahnya 12.000 orang pada tahun 1958, dan 30.000 orang konselor pada tahun 1964.
2.      Pada akhir tahun akademik 1964-1965 telah dikucurkan dana untuk membantu 480 lembaga sekolah dalam upaya meningkatkan kemampuan konseling. Program ini diikuti lebih dari 15.700 orang konselor SLTP, dan para guru yang dipersiapkan untuk menjadi konselor.
3.      Mulai tahun 1959 s.d. tahun 1964 telah dilakukan tes prestasi dan bakat persekolahan kepada 100 juta siswa SLTP Negeri, dan tiga juta siswa SLTP swasta.
4.      600.000 siswa telah dibantu untuk memperoleh atau melanjutkan studi ke perguruan tinggi melalui loan (pinjaman) dari negara bagian federal.
5.      42.000 teknisi telah dilatih untuk memenuhi kebutuhan “manpower” yang mengalami krisis.
6.      Memberi kucuran dana bea siswa bagi 8.500 calon guru dibeberapa perguruan tinggi keguruan.
Selama tahun 1960, 1970, 1980-an, telah terjadi perkembangan dalam peran dan fungsi konselor sekolah berikut program-programnya. Perkembangan tersebut meliputi:
a.       Pengembangan, penerapan, dan evaluasi program bimbingan komprehensif.
b.      Pemberian layanan konseling secara langsung kepada para siaswa,orang tua dan guru.
c.       Perencanaan pendidikan dan pekerjaan.
d.      Penempatan siswa.
e.       Konsultasi denga guru-guru, tenaga administrasi, dan orang tua.
Khusus menyangkut peran konselor di Sekolah Dasar,”Joint Committee on Elementary School Counselor” mengklarifikasikannya menjadi tiga peran atau fungsi yaitu: konseling, konsultasi, dan koordinasi.
Perkembangan program bimbingan  dan konseling di sekolah dipengaruhi juga oleh munculnya berbagai organisasi professional dalam bidang konseling, seperti: (a) American Counseling Association(ACA), (b) American School Counselor Association(ASCA), (c) Association of Counselor Education and Supervision(ACES). Organisasi-organisasi ini berupaya meningkatkan profesionalitas para konselor, dengan meluncurkan program akreditasi dan sertifikasi.
Bradley pada tahun 1980, menambah satu tahapan dari tiga tahapan tentang sejarah bimbingan menurut Stiller, yaitu sebagai berikut:
1)      Vocational exploration, yaitu tahapan yang menekankan tentang analsis individual dan pasaran kerja. Tahapan yang mencoba menjodohkan manusia dengan pekerjaan.
2)      Meeting Individual Needs, yaitu tahapan pada periode 40 s.d. 50-an yang menekankan pada upaya yang membantu individu agar memperoleh kepuasan kebutuhan hidupnya. Perkembangan bimbingan konseling, pada tahapan ini dipengaruhi oleh pendapat Maslow dan Ronger, yaitu bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya sendiri.
3)      Transisional Professionalism, yaitu tahapan yang memfokuskan perhatiannya kepada upaya profesionalisasi konselor.
4)      Situational Diagnosis, yaitu tahapan yang terjadi pada tahun 1970-an, sebagai periode perubahan dan inovasi. Pada tahapan ini, ada penekanan yang lebih kepada analisis lingkungan dalam proses bimbingan, dan gerakan untuk menjauhi cara-cara terapeutik yang hanya terpusat pada diri individu.
Pada tahun 1980-an juga, Kowits mencatat lima gerakan bimbingan dalam pendidikan.
Perama, gerakan penyesuaian hidup dengan memperhatikan persiapan vokasional, keragaman individual, dan kurikulum.
Kedua, gerakan perkembangan anak pada tahun 1920-an yang dipengaruhi oleh perkembangan teori psikoanalitik, yang menyatakan pentingnya pengalaman masa anak sebagai dasar perkembangan selanjutnya.
Ketiga, gerakan yang melibatkan konsep guru konselor. Selama periode ini, guru dipandang sebagai orang yang dapat memfasilitasi pencapaian tujuan bimbingan.
Keempat, gerakan proyek atau program khusus yang menekankan tentang filsafat aktivisme sosial.
Kelima, gerakan yang menaruh perhatian terhadap redefinisi tujuan bimbingan dan prinsip-prinsip ilmiah bimbingan.
Lebih lanjut John J. pietrofesa mendeskripsikan tonggak-tonggak sejarah bimbingan modern, yaitu sebagai berikut:
Tonggak-tonggak Sejarah Bimbingan Modern
TAHUN
PERISTIWA
1879
Laboratorium psikologi pertama dibangun oleh Wilhlm Wundt di Jerman
1883
G. Stanley Hall berinisiatif melakukan studi tentang anak di laboratorium psikologi di Universitas John Hopkins
1890
Sigmund Freud menggunakan psikoanalisis untuk mengobati penyakit mental
1895
George Meril mengembangkan bimbingan vokasioanl pertama di San Fransisco
1898
Jesse B. Davis mulai bekerja sebagai seorang konselor pada Sekolah Menengah Atas di Detroit
1905
Lbert Binet dan Theophile Simon menyusun dan menstandardisasikan tes kecerdasan umum pertama di Paris
1906
Eli W. Weaver, seorang kepala sekolah di Brooklyn menulis buku “Coosing a Career”
1908
Frank Parosns mendirikan Biro Vokasional di Boston, dan menulis buku “Coosing a Vocation”
1909
Clifford Beers menulis “A Mind that Found it Self”, sebagai faktor utama yang mempengaruhi lahirnya gerakan mental hygiene
1910
Konferensi bimbingan vokasional nasional pertama diselenggarakan di Boston
1913
Asosiasi Bimbingan Vokasional Nasional didirikan di Grand Rapids Michigan
1917
The Smith-hughes Act memberikan dana federal pertama untuk membiayai program bimbingan vokasioanl
1917
Tes kemampuan mental kelompok verbal dan non-verbal dikembangkan oleh Angkatan Bersenjata yang digunakan dalam melakukan screening calon tentara
1927
The Strong Vocatioanal Interest Blank dipublikasikan
1929
The George-Reed Act memberikan dukungan federal untuk pendidikan vokasional
1932
John Brewer mempublikasikan buku “Education as Guidance”
1934
The George-Ellzy Act melanjutkan pemberian dukungan dana federal untuk pendidikan vokasional
1935
The Works Progress Administration didirikan untuk memberikan layanan konseling dan penempatan bagi para generasi muda
1936
The George-Deen Act melanjutkan pemberian dana untuk pendidikan vokasional
1937
The American Association For Applied Psychology didirikan
1938
The U. S. Office of Education memberikan layanan informasi pekerjaan
1939
E. G. Williamson mendeskripsikan pendekatan “Trait and Factor”konseling dalam bukunya “How To Counsel Students”
1942
Carl Rongers mempublikasikan “Counseling and Psychotherapy” dan mulai melakukan gerakan konseling kea rah “client-centered therapy”
1945
The U.S. Employment Office mengambangkan “General Aptitude Test Battery”
1951
The American Personnel and Guidance Association (APGA) didirikan
1952
The American School Counselor Association didirikan, dan menjadi salah satu Divisi APGA pada tahun 1953
1953
B. F. Skinner menulis “Scienceand Human Behavior”
1954
The Office of Vocational Rehabilitation didirikan
1957
APGA menyusun The American Board of Professional Standars “ dalam bimbingan vokasional
1957
Donald Super mempublikasikan “The Psychology of Career” yang mempunyai pengaruh besar terhadap gerakan perkembangan karir pada  tahun-tahun berikutnya
1958
The National Defense Education Act memberikan dana untuk kegiatan pelatihan para konselor sekolan
1961
The Association for Supervision and Curriculum Development mempublikasikan “Peeceiving, Behaving, Becoming
1962
C.Gilbert Wrenn menulis “The Counselor is a Changing World”
1963
The Manpower Development and Training and The Vocational Education Act telah dilakukan
1964
Amended NDEA melanjutkan pembeian dana bagi pelatihan konselor
1971
Commissioner of Education Sidney Marland menekankan tentang pentingnya perencanaan dan kehidupan karir
1976
Unit administrasi untuk bimbingan dan konseling telah didirikan di U.S. Office of Education
1978
The State Virginia memberikan izin praktekkepada konelor

2.2 Perkembangan Bimbingan Konseling di Indonesia
Dalam layanan perkembangan bimbingan di Indonesia mempunyai perbedaan dengan perkembangan bimbingan di Amerika, hal ini disebabkan karena, dalam perkembangan di Amerika dimulai dari usaha perorangan dan pihak swasta, kemudian berangsur-angsur menjadi usaha pemerintah. Sedangkan di Indonesia, perkembangannya dimulai dari kegiatan-kegiatan di sekolah dan usaha-usaha pemerintah.
Layanan bimbingan dan konseling di Indonesia sudah lama dibicarakan secara terbuka sejak tahun 1962. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan system pendidikan di SMA, yaitu perubahan nama menjadi SMA Gaya Baru dan berubahnya waktu penjurusan, yang awalnya di kelas I menjadi dikelas II. Program penjurusan ini merupakan respon akan kebutuhan untuk menyalurkan para siswa ke jurusan yang tepat bagi mereka secara perorangan.
Dalam rencana pelajaran SMA Gaya Baru, ditegaskan antaranya:
a.       Di kelas I setiap pelajar diberi kesempatan untuk lebih mengenal bakat dan minatnya, dengan cara menjelajahi semua jenis mata pelajaran yang ada di SMA, dan dengan bimbingan penyuluhan yang teliti dari guru maupun orang tua.
b.      Dengan mempergunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan catatan dalam kartu pribadi setiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas II kelompok khusus: budaya, social, dan pengetahuan.
c.       Untuk kepentingan tersebut, maka pengisian kartu pribadi murid harus dilaksanakan seteliti-telinya.[2]
            Perumusan dan pencantuman resmi di dalam rencana pembelajaran di SMA ini disusul dengan berbagai kegiatan pengembangan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti rapat kerja, penataran. Pucak dari usaha ini adalah didirikannya jurusan bimbingan dan penyuluhan di fakultas ilmu pendidikan IKIP (Institut Keguruan dan ilmu pendidikan) Negeri. Salah satu yang membuka jurusan Bimbingan dan Penyuluhan adalah IKIP Bandung pada tahun 1963, yang sekarang berganti nama yaitu Universitas Pendidikan Indonesia.
Peran bimbingan kembali mendapat perhaian setelah diperkenalkannya gagasan sekolah pembangunan pada tahun 1970/ 1971. Gagasan pembangunan ini kemudian dituangkan dalam program sekolah menengah pembangunan persiapan (SMPP), yang berupa proyek percobaan dan peralihan dari system persokalah lama menjadi sekolah pembangunan.pembentukan SMPP ini dimaktubkan dalam surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 0199/0/1973. Dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan di SMPP ini badan pengembangan pendidikan departemen pendidikan dan kebudayaan telah menyusun program Bimbingan dan penyuluhan SMPP.
Badan pengembangan pendidikan, melalui lokakarya-lokakarya telah berhasil menyusun dua naskah penting dalam sejarah perkembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu sebagai berikut:
1.      Pola dasar rencana dan pengembangan program bimbingan dan penyuluhan melalui proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
2.      Pedoman operasional pelayanan bimbingan pada proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak berlakunya kurikulum 1975, yang menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah. Pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini member pengaruh yang sangat berarti terhadap perluasan program bimbingan di sekolah.
Setelah melalui upaya penataan, dalam decade 80-an bimbingan diupayakan agar lebih maju untuk mewujudkan layanan bimbingan yang professional, yang mana dalam dekade ini lebih mengarah pada profesionalisasi yang lebih baik. Yaitu dengan cara penyempurnaan kurikulum. Dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 yang telah ditambah bimbingan karir di dalamnya.
Usaha memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakunya UU No. 2/1989 tentang system pendidikan nasional. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:” pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.”
Posisi bimbingan yang termaktub dalam undang-undang no 2 di atas diperkuat dengan peraturan pemerintah (PP) No 28 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No.29 Bab X pasal 27/1990 yang menyatakan bahwa” Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkunagn dan merencanakan masa depan.”
Penataan bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 84/1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya. Dalam pasal 3 disebutkan tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. Pada tahun yang sama juga keluar surat keputusan bersama Mendikbud dengan kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 26 tahun 1993 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, yang tercantum pada Bab III Pasal 4 ayat 1,2, dan 3 yaitu sebagai berikut:
a)         Standar prestasi kerja guru pratama sampai guru dewasa tingkat I dalam melaksanakan PBM atau Bimbingan meliputi hal berikut:
1)      Persiapan program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling (BK).
2)      Penyajian program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling.
3)      Evaluasi program pengajaran atau praktik atau bim bimbingan dan konseling.
b)         Standar prestasi kerja guru Pembina sampai guru utama selain tersebut pada ayat 1 ditambah dengan hal berikut:
·         Analisis hasil evaluasi pengajaran atau praktik atau BK.
·         Penyusunan program perbaikan dan pengayaan atau tindak lanjut pelaksanaan BK.
·         Pengembangan profesi dengan angka kredit sekurang-kurangnya 12 (dua belas).
c)         Khusus standar prestasi kerja guru kelas, selain tersebut pada ayat 1 atau ayat 2, sesuai dengan jenjang jabatannya ditambah melaksanakan program BK di kelas yang menjadi tanggung jawab.
Pada tahun 2001 nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berubah menjadi Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN), sehingga menjadikan perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia menjadi semakin bagus (mantap). Pemunculan nama ini dilandasi oleh pemkiran bahwa bimbingan dan konselingan harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan public.
Berdasarkan penelaah yang cukup kritis terhadap perjalanan historis gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia, prayitno mengemukakan bahwa periodesasi perkembangan gerakan bimbingan dan penyuluhan di Indonesia melalui lima periode, yaitu: periode prawacana, pengenalan, pemasyarakatan, konsolidasi, dan tinggal landas.

Periodesasi pergerakan bimbingan dan konseling di Indonesia
periodesasi
Peristiwa
Periode I dan II:
Prawacana dan pengenalan (sebelum 1960-1970-an)
Pada periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling sudah dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya diluar negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya jurusan Bimbingan dan penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP bandung(sekarang namanya UPI). Pembukaan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalakan pelayanan BP pada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua in ditandai dengan dua keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
Periode III: pemasyarakatan (1970-1990 an)
Pada periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk sekolah dasar sampai sekolah menengah tingkat atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini, pelayanan BP difokuskan pada bidang-bidang karir. Dan pada periode ini muncul beberapa permasalahan, seperti: (1) berkembangnya pemahaman yang keliru, yaitu mengidentikan Bimbingan karir dengan  Bimbingan Penyuluhan. (2) kerancuan dalam mengimlementasikan SK Menpan No 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur, baik pemahaman maupun implementasinya.
Periode IV: konsolidasi(1990-2000)
Pada periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di atas). Pada periode ini ditandai oleh (1) diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling.(2) pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu. (3) mulai diselenggarakan penataran(nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing.(4) mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing.(5) pola pelayanan BK di sekolah dikemas dalam BK pola 17, dan (6) dalam bidang kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK. (7) dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI.
Periode V: lepas landas
Semula diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai, sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum terkonsilidasi, yang berkenaan dengan sumber daya manusia(SDM). Kelemahannya berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommitted para pelaksana layanan. Walaupun begitu pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu: (1) penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia),(2) lahirnya undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, yang dimuat di dalamnya ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (bab1 ayat 4). (3) kerjasama pengurus besar ABKIN dengan dikti Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling.(4) kerjasama ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru pembimbing(konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.

Dalam usaha untuk lebih memantapkan atau memajukan dan Konseling sebagai suatu profesi, saat ini telah banyak kegiatan yang dilakukan baik yang berupa seminar, lokakarya ataupun penerbitan buku dan jurnal. Pada bulan Desember 2003 ABKIN telah menyelenggarakan konvensi nasional XIII yang diisi dengan kegiatan-kegiatan seminar dan lokakarya (semiloka) yang bertemakan “profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia Menuju kea rah Standar Internasional”. Para pembicara pada seminar ini di samping berasal dari para pengurus ABKIN dan para pakar Bimbingan dari Negeri juga berasal dari luar negeri. Yaitu dari Jepang (Prof. Toshinori Ishikuma) dan Malaysia(Prof. Dr. Wan Kader Wan Ahmad). Selain itu, di setiap kota atau kabupaten yang ada guru pembimbingnya telah dibentuk organisasi MGBK yaitu Musyawaroh Guru Bimbingan dan konseling, baik di tingkat SLTP ataupun SLTA.
Dalam penyelenggaraan program Bimbingan dan Konseling pada saat ini masih ada beberapa persoalan, antara lain adalah:
1)      Masih terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah dan jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan, bahkan di sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum ada pengangkatan khusus seorang konselor.
2)      Dampak dari kesenjangan antara jumlah konselor dengan jumlah sekolah, atau jumlah peserta didik adalah:
·         Di sekolah tertentu tidak ada guru pembimbing.
·         Di sekolah-sekolah tertentu ada guru pembimbingnya meskipun tidak seimbang dengan banyaknya siswa.
·         Untuk menutupi kekurangan guru pembimbing, tidak jarang kepala sekolah mengangkat guru-guru mata pelajaran(yang jam mengajarnya kurang) menjadi guru pembimbing.
3)      Pengangkatan guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing, disatu sisi memberikan impresi positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada kepedulian kepada sekolah terhadap program BK. Akan tetapi di sisi lain juga berdampak negative bagi profesi pembimbing, yaitu melahirkan citra buruk bagi profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Karena ditangani oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian dalam bidang BK.
4)      Walaupun bimbingan konseling dipandang sebagai kegiatan yang professional, akan tetapi secara hokum belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh, yang memberikan jaminan bahwa hanya lulusan pendidikan konselor lah yang bisa mengemban tugas atau memberikan layanan bimbingan dan konseling.
5)      Popularitas Bimbingan dan Konseling masih terbatas di dalam kalangan tertentu, di lingkungan (sekolah) yang sudah akrab dan apresiasi terhadap BK, akan tetapi ada juga di kalangan sekolah yang belum memahami secara tepat dan bahkan menaruh citra negative terhadap BK.
6)      Masih ada juga kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program BK di sekolah, sehingga mereka memberikan tugas kepada guru pembimbing (konselor) yang mismatch, tidak profesiona, tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya.
7)      Citra BK semakin terpuruk dengan adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak professional, dan mereka masih lemah dalam hal:
·         Memahami konsep-konsep bimbingan secara komperehensif.
·         Menyusun program bimbingan dan konseling
·         Mengimplementasikan teknik-teknik BK.
·         Kemampuan berkolaborasi dengan kepala sekolah atau guru mata pelajaran.
·         Mengelola BK.
·         Mengevaluasi BK dan melakukan tindak lanjut untuk perbaikan atau pengembangan program.
·         Penampilan kwalitas pribadinya, yaitu mereka masih dinilai kurang percaya diri, kurang ramah, kurang kreati, kurang kooperatif dan kolaboratif
8)      LPTK yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing masih belum memiliki kurikulum yang bagus untuk melahirkan konselor-konselor professional.


[1] Syamsu yusuf, landasan bimbingan & konseling. Bandung: PT rosdakarya, 2005
[2][2] Rochman Natawijaya, 1971